Sintang, Kalbar – Ojong (50), warga Desa Nanga Mau, Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang menangis tersedu-sedu, menyaksikan jenasah cucunya harus turun di jalan karena ia tidak mampu memenuhi permintaan supir ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang. Supir ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang meminta uang tambahan sebesar Rp 1 juta untuk mengantarkan jenasah cucunya ke Desa Nanga Mau. Mendengar Ojong tak sanggup memenuhi permintaan tambahan uang, supir ambulans menyuruh Ojong untuk turun dan mencari ambulans lain saja. Ojong dan jenasah cucunya akhirnya turun di SPBU Bujang Beji Sintang, usai ambulans mengisi bahan bakar di SPBU tersebut.
“Supir ambulans minta duit untuk tambahan beli minyak. Aku bilang, aku ndak ada duit. Kan sudah bayar ke kasir rumah sakit,” tutur Ojong pada sejumlah wartawan sambil menangis tersedu-sedu, Senin (15/7) malam. Video Ojong inipun viral di sejumlah media sosial di Kalbar.
Mendengar ucapan Ojong yang mengatakan sudah bayar ke kasir rumah sakit, supir ambulans tersebut langsung menjawab, oh ndak bisa gitu. Itu bukan urasan saya, itu urasan kasir, dengan kasir saya ndak ada urasan. “Hati aku tertekan sekali, sakit hati aku, untung aku sabar, kalau tidak sudah ku tinju supir itu. Aku bawa cucu aku meninggal. Dia (supir-red) minta Rp 1 juta. Aku ndak punya duit. Terus supir bilang, kalau ndak ada Rp 1 juta, ya udah Rp500 ribu saja. Aku ndak punya duit kataku. Aku teleponlah sepupuku, Roni. Kemudian Roni telepon pak dewan. Datanglah pak dewan ke sini. Kata pak dewan biaya ambulans sudah bayar di kasir rumah sakit. Saya sebagai masyarakat tidak terima. Ini betul-betul menindas rakyat. Saya tidak terima,” ucapnya sambil mengusap air mata dengan kedua tangannya.
Santosa, anggota DPRD Kabupaten Sintang menunjukkan nota pembayaran biaya ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang.
Santosa, anggota DPRD Kabupaten Sintang yang malam itu dihubungi oleh Roni, keluarga dari Ojong, langsung mendatangi SPBU Bujang Beji untuk menanyakan perihal adanya permintaan tambahan uang oleh supir ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang tersebut. Santosa mengatakan, Senin sore, pihaknya di telepon oleh keluarga pasien, bahwa istrinya melahirkan dan anaknya meninggal dunia. Kemudian, keluarga pasien tersebut meminta bantuan mencarikan ambulans untuk membawa jenasah bayi tersebut ke kampung halamannya. “Saya carilah ambulans, saya coba telepon supir ambulas RSUD Ade M Djoen Sintang. Ternyata dari awal supir ambulans memang sudah tidak benar. Supir minta biaya sebesar Rp1.650.000 untuk mengantarkan jenasah ke Desa Nanga Mau. Saya bilang pada supir, itu tidak benar, terlalu mahal tidak sesuai dengan Perda Sintang Nomor 1 Tahun 2024. Saya tahu berapa biaya kalau sesuai dengan perda, karena saya sudah beberapa kali pulangkan pasien ke Nanga Mau dengan ambulans RSUD. Berdasarkan perda ini, paling mahal biayanya hanya berkisar Rp700 ribu saja ke Nanga Mau yang jaraknya 70 km dari Kota Sintang,” tutur Santosa.
Ia kemudian menghubungi Direktur RSUD Ade M Djoen Sintang, Ridwan Tony Hasiholan Pane. “Saya kirim WA ke direktur RSUD. Bang Pane tolong diatasi. Sudah tidak benar anak buah nuan. Tolong ditegur. Supir ambulans tarifnya terlalu tinggi untuk mengantarkan jenasah ke Nanga Mau, di atas 1 juta lebih. Keluarga almarhum orang miskin. Untuk makannya saja selama di Sintang minta sama orang. Kebetulan ada adik saya Roni, dialah yang mengurus makan minum keluarga almarhum. Di perda kita berapa tarifnya, coba abang buka. Direktur pun meminta saya menunggu sebentar untuk cek perda,” cerita Santosa.
Tidak lama kemudian, lanjut Santosa, Direktur RSUD Ade M Djoen Sintang, Ridwan Tony Hasiholan Pane menelepon dirinya, mengatakan bahwa tarifnya Rp690 ribu. “Biaya ini sudah semuakah dokter, tanya saya lagi. Direktur kemudian menjawab sudah semua. Beres semua. Okelah kalau segitu tidak jadi masalah, bang,” jawab Santosa.
Setelah mendapat jawaban dari direktur RSUD Ade M Djoen Sintang, Santosa menelepon adiknya untuk membayarkan biaya ambulans rumah sakit. “Dibayarlah biaya ambulans sesuai dengan apa yang disampaikan direktur sebesar Rp690 ribu. Notanya juga ada. Betul biayanya Rp690 ribu sudah termasuk honor supir ambulans. Sudah berangkatlah jenasah pasien,” kata Santosa.
Sekitar 15 menit kemudian, lanjut Santosa, dirinya ditelepon oleh Roni, keluarga pasien. “Bang, kok mereka diturunkan di depan SPBU Bujang Beji. Katanya, supir ambulans minta tambahan Rp1 juta. Nah, karena kakek almarhum mengatakan tidak punya duit, makan saja ditanggung orang, ambulans juga dibayarkan orang. Supir ambulans tersebut meminta Rp500 ribu saja. Disampaikan lagi oleh kakek almarhum yang mengatakan jangankan Rp500 ribu, Rp100 ribu saja kami ndak punya. Supir mengatakan, oh kalau begitu silahkan cari ambulans lain,” cerita Santosa.
Mendengar aduan Roni, Santosa langsung menuju SPBU Bujang Beji. “Saya telepon Roni, tolong kamu tunggu di situ, saya ingin bicara sama supir ambulans. Saya juga telepon direktur kalau pasien diturunkan di SPBU. Tidak lama saya datang, supir langsung menyalami saya, dia bilang pak dewan, saya sudah ditelepon direktur. Apalagi pak dewan yang datang. Sudah kita berangkat saja. Saya bilanglah, tidak bisa begitu. Informasi ini sudah menyebar ke kampung 15 menit lalu. Di kampung keluarga pasien, orang-orang sudah menunggu. Bahkan ada keluarga pasien di kampung yang kirim WA ke saya yang mengatakan jangankan Rp1 juta, 2 juta pun kami bayar. Kamu berangkat saja ke kampung. Suruh supirnya berangkat ke kampung nanti kami bayar, begitu WA dari keluarga pasien di kampung,” jelas Santosa.
Mendapat pesan singkat dari keluarga pasien di kampung, Santosa sudah khawatir bahwa niat keluarga pasien di kampung sudah berbeda. “Pasti keselamatan supir ambulans yang terancam kalau melanjutkan mengantarkan pasien ke kampung. Karena bahasa dari orang di kampung, jangankan satu juta, dua juta pun kami bayar. Saya khawatir bisa dibunuh supir ambulans ini dengan orang di kampung sana. Karena orang di kampung sana sudah marah, jenasah diturunkan di jalan. Saya lihat mayat itu sudah digendong keluarga, keluar darah,” katanya.
Santosa akhirnya melarang supir ambulans untuk melanjutkan perjalanan ke Nanga Mau. “Supir Ambulans kemudian mengatakan, kalau dia tidak bisa mengantarkan ke Nanga Mau, dia serahkan kunci mobilnya ke saya, silahkan pak dewan cari saja supir untuk mengantarnya. Pakai saja mobil ambulans ini. Saya katakan pada supir itu, saya tidak berani bertanggungjawab atas kesalamatan kamu, karena keluarga pasien sudah marah. Kamu di sini saja, biar saya cari mobil rental,” ucap Santosa.
Ia kemudian menghubungi mobil rental untuk disewa. “Saya sewa mobil rental itu, harganya hanya Rp350 ribu. Bahan bakar Rp150 ribu saja. Jenasah pasien akhirnya diantar oleh Roni ke kampung halamannya,” tutur Santosa.
Ia sangat menyayangkan peristiwa ini terjadi. Menurutnya, peristiwa tersebut sangatlah tidak berprikemanusiaan. “Apalagi yang saya dengar, supir ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang yang satu ini sudah sering berbuat demikian pada masyarakat. Saya tidak tahu siapa oknum pejabat di belakangnya. Korban-korbannya sudah banyak, tapi tetap saja orang ini dilindungi. Hari ini saya ingin orang-orang seperti ini harus dipecat. Tidak boleh lagi bekerja di rumah sakit, orang-orang seperti ini harus diberantas. Rumah sakit tempat orang yang punya hati, orang-orang yang berperikemanusiaan, menomorduakan uang, mengutamakan pelayanan. Menolong orang dulu, kalau orang-orang seperti ini tetap bekerja di rumah sakit, hancur rumah sakit,” ucap Santosa.
RSUD Minta Maaf
Direktur RSUD Ade M Djoen Sintang, Ridwan Tony Hasiholan Pane, meminta maaf atas kejadian tersebut. Menurutnya tindakan itu dilakukan oleh oknum, tidak semua sopir seperti itu.
Untuk sanksi terhadap yang bersangkutan, kata Pane, tentunya akan mengacu pada aturan kepegawaian yang ada. Karena yang bersangkutan merupakan PNS, tentunya mengacu pada aturan terkait.
“Sanksinya tentunya sesuai dengan mekanisme aturan pegawai negeri,” tegasnya.
Supir Ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang yang diduga melakukan pungli.
Dijelaskannya, untuk penggunaan ambulans dari RSUD, semuanya mengacu pada Perbup yang ada. “Dalam Perbup itu sudah ada uang untuk sopir, perawat dan BBM. Jadi semuanya sudah ditanggung,” ungkapnya.
Pane menyebut, sebelum ambulans berangkat BBM selalu dalam kondisi tersedia. “Contoh, ketik sopir A berangkat, BBM-nya disisi. Setelah selesai BBM diisi lagi,” jelasnya.
“Untuk kejadian tadi malam, sopirnya mengisi dexlite, ini sebenarnya tidak kita rekomendasikan. Kalaupun harus dipakai mendesak, tidak boleh dibebankan ke pasien,” timpalnya.
Sopir Ambulans Berikan Klarifikasi
Sementara itu, sopir ambulans RSUD Ade M Djoen Sintang, pada malam itu berinisial S mengungkapkan bahwa sebelum berangkat, dirinya sempat ditelepon pihak keluarga untuk menanyakan biaya ambulans.
“Saat itu saya jelaskan, biaya untuk ambulans yang akan dibawa berbeda dengan Perbup karena menggunakan dexlite, perliternya Rp 14.900 per liter. Sementara sesuai Perda BBM yang ditanggung sebesar Rp 9,500 perliter. Nah, selisih BBM itu yang saya minta ke keluarga pasien,” jelasnya.
“Selisih inilah yang saya minta penggantian ke pihak keluarga. Sehingga timbul perselisihan bahwa saya ingin menurunkan keluarga pasien. Padahal, saya ingin menurunkan keluarga pasien dan menggantinya dengan ambulans yang standar Perbup,” tuturnya. (tantra)