Sintang, Kalbar – Ratusan massa merusak Masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Jumat (3/9). Massa menghancurkan masjid Ahmadiyah menggunakan berbagai alat mulai dari kayu, palu, bambu hingga batu. Selain merusak masjid Ahmadiyah, massa juga membakar bangunan yang berada di samping masjid Ahmadiyah tersebut.
Kabid Humas Polda Kaimantan Barat Kombes (Pol) Donny Charles Go membenarkan massa merusak masjid Ahmadiyah dan membakar bangunan yang ada di belakang masjid. Saat ini, katanya, sebanyak 300 personel TNI dan Polri telah dikerahkan untuk mengamankan tempat kejadian perkara (TKP).
Dikatakan Donny, personel gabungan TNI dan Polri yang dikerahkan untuk menjaga TKP berjumlah sekitar 300 personel.
Dia menjelaskan, dalam insiden itu,ada bangunan yang dirusak dan dibakar oleh massa berjumlah sekitar 200 orang.
“Tidak ada korban jiwa dalam insiden itu. Masjidnya sendiri ada yang rusak karena dilempar massa. Sedangkan yang sempat terbakar adalah bangunan di belakang Masjid tersebut,” ungkapnya.
Dia menambahkan, saat ini pihaknya fokus mengamankan Jemaat Ahmadyah yang berjumlah 72 orang atau 20 KK dan bangunan Masjid.
“Situasi saat ini sudah terkendali,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang menyatakan aksi pengerusakan masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak bukanlah aksi spontanitas umat Islam Kabupaten Sintang. Namun aksi tersebut dilakukan karena umat Islam di Kabupaten Sintang sudah merasa gerah dengan Jemaat Ahmadiyah yang selalu melakukan aktivitas nya menyebarkan aliran sesat mereka, dan melanggar kesepakatan SKB tiga menteri.
Perwakilan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang, Mochammad Hedi menyampaikan hal tersebut, saat ditemui wartawan. Ia menegaskan, sesuai dengan fatwa MUI, Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Umat Islam di Kabupaten Sintang sudah merasa gerah dengan berbagai aktivitas penyebaran ajaran aliran Ahmadiyah yang dilakukan para pengikutnya. “Selama ini Umat Islam di Kabupaten Sintang terus bersabar dengan pelanggaran yang dilakukan Ahmadiyah,” tegasnya.
Ia mengatakan berbagai upaya sudah dilakukan umat Islam di Kabupaten Sintang untuk mendesak pemerintah daerah menghentikan segala aktivitas penyebaran aliran Ahmadiyah. Puncaknya, pada Jumat (3/9) kemarahan umat Islam yang tergabung dalam Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang sudah tidak terbendung lagi. Setelah Pemerintah Kabupaten Sintang ternyata tidak merobohkan masjid Ahmadiyah, seperti kesepakatan awal antara Pemkab Sintang dengan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang. Kata Hedi, Pemkab Sintang justru hanya menyegel masjid Ahmadiyah tersebut.
Dia menegaskan, sejak awal tujuan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang adalah minta pemerintah segera merobohkan bangunan ibadah Ahmadiyah yang mereka anggap masjid. Diceritakan Hedi, perjuangan muslim Sintang menghadapi Ahmadiyah Sintang sudah berlangsung selama 17 tahun. Puncaknya Jum’at (3/9) kemarin. Dikatakan dia dalam kurun waktu 17 tahun, para penyuluh dan MUI terus melakukan pembinaan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Namun tidak berhasil.
Justru Jemaat Ahmadiyah semakin bertambah, Jemaat Ahmadiyah terus melakukan pembangunan tempat ibadah mereka. “Selama 17 tahun, aktivitas Jemaat Ahmadiyah menimbulkan keresahan masyarakat muslim Tempunak,” katanya. Bahkan aparatur desa dan kecamatan di Tempunak sudah membuat surat kepada Ahmadiyah untuk tidak meneruskan pembangunan tempat ibadah mereka, tapi Ahmadiyah tidak memperhatikan imbauan tersebut.
Selama 17 tahun selalu dan terus menerus terjadi perseteruan antara Ahmadiyah dan umat Islam di Kabupaten Sintang. Namun selalu dimediasi pihak Kepolisian, Kemenag, Kejaksaan, Kesbangpol yang kemudian selalu ada kesepakatan.
“Namun kesepakatan tersebut tidak pernah ditepati oleh Ahmadiyah. Sampai tahun 2019, Ahmadiyah berani terang-terangan menyebarkan tadzkirah dan selembaran tentang aliran sesat mereka di depan pendopo Bupati Sintang.
Peristiwa itu sudah diselesaikan. Namun lagi- lagi tidak membuat Ahmadiyah berhenti menyebarkan ajaran sesat mereka,” tegasnya.
Kata Hedi, Ahmadiyah masih membuat kegiatan di Gang Alas 3 sampai di geruduk oleh masyarakat. Kemudian puncaknya masyarakat Islam Tempunak membuat surat dilengkapi data petisi muslim Tempunak agar Pemerintah Kabupaten Sintang menghentikan bangunan dan aktivitas Ahmadiyah. Surat tersebut diserahkan juga ke MUI dan bupati.
Selanjutnya, Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang terdiri dari 21 ormas Islam bermusyawarah dan sepakat mendorong Pemerintah Kabupaten Sintang untuk melakukan perobohan bangunan yang Ahmadiyah anggap sebagai masjid mereka. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Sintang merespon untuk menyegel bangunan tempat ibadah Ahmadiyah. Selanjutnya akan dilakukan perobohan dalam waktu 30 hari.
Namun tiba – tiba ada keputusan baru dari Pemkab Sintang tanpa ada musyawarah terlebih dahulu dengan para tokoh Umat Islam Sintang. Keputusan Pemkab Sintang tersebut langsung dibacakan yang ditanda tangani oleh Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Sintang, Kurniawan, yang isinya segel pemanen. Tentu masyarakat sangat menolak. Karena isi keputusan Pemkab Sintang masih ngambang. “Akhirnya spontanitas hari Jum’at masyarakat bergerak ke Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak dan terjadilah perobohan bangunan tempat ibadah Ahmadiyah oleh masyarakat,” ceritanya.
Tapi, kata Hedi, bangunan tersebut tidak sampai roboh rata. Karena bangunan utama atapnya masih utuh. Mengingat gubernur Kalbar, Sutarmidji telepon Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang dan mengatakan akan menyelesaikan masalah Ahmadiyah selama 30 hari. Sutarmidji juga berjanji akan membongkar bangunan tempat ibadah Ahmadiyah di Sintang. Adapun bangunan yang terbakar adalah bangunan yang memang tidak layak huni, memang sudah rusak dan akan roboh sendiri. Tidak ada satupun warga Ahmadiyah yang disentuh oleh Umat Islam Sintang. Para peserta aksi hanya fokus bangunan saja. Bahkan saat pertama kali umat Islam tiba ada salah satu anggota Ahmadiyah mengacungkan senjata tajam. Tapi dihalau oleh aparat.
Berita sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Sintang memutuskan menghentikan aktivitas operasional bangunan tempat ibadah secara permanen milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang, Provinsi Kalbar.
“Penghentian aktivitas operasional bangunan tempat ibadah secara permanen milik JAI di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak selain berdasarkan dari surat bupati Sintang juga atas arahan bapak gubernur Kalimantan Barat,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sintang, Kurniawan, dalam keterangan tertulisnya di Sintang, Selasa.
Ia menjelaskan, keputusan itu juga untuk menjaga keamanan, ketentraman, ketertiban dan kondusifitas masyarakat di Desa Balai Harapan.
“Maka diperintahkan juga kepada penganut atau anggota JAI agar melaksanakan apa yang telah diperintahkan di atas dalam aktivitas dan bentuk apapun tanpa izin pemerintah,” katanya.
Ia bilang, Pemerintah Kabupaten Sintang menjamin kebebasan kepada JAI untuk beribadat sepanjang mengakui beragama Islam, dan sesuai ketentuan dan keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3/2008. Kemudian Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199/2008, tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengimbau kepada semua pihak dan termasuk media massa agar memberitakan informasi yang sesuai dengan fakta di lapangan dan tidak melakukan provokasi negatif yang dapat memicu permusuhan dan kebencian dan Sara, serta melanggar aturan hukum yang berlaku.
Sebelumnya, sebanyak 20 kepala keluarga dan 74 jiwa anggota JAI telah mendirikan bangunan tempat ibadah yang memicu keresahan dan penolakan dari masyarakat Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang.
“Setelah merespon permasalahan tersebut, maka Pemkab Sintang menerbitkan surat yang intinya menghentikan aktivitas dan operasional tempat ibadah yang menjadi sumber keresahan dan penolakan masyarakat setempat,” katanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalbar, M Basri Har mengajak umat Islam tetap santun tanpa anarkis menghadapi penyimpangan ajaran Ahmadiyah dan menyerahkan kepada pihak berwenang.
Dikatakan dia, masalah Ahmadiyah, sesungguhnya MUI sudah memfatwakan menyimpang dari ajaran Islam karena mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Terkait kasus 3 September 2021 di Sintang, MUI mengajak umat Islam dalam menghadapi Ahmadiyah dilakukan secara santun, tidak anarkis dan tidak dengan kekerasan.
Ia menjelaskan bahwa MUI Provinsi Kalbar selalu berkomunikasi dengan MUI Kabupaten Sintang. Kemudian juga sudah mengutus Ketua Komisi Fatwa dan salah seorang ketua berangkat ke Sintang untuk membantu Pemda Sintang memberi pemahaman dan menenangkan masyarakat.
“Namun massa ternyata tidak dapat dikendalikan maka terjadilah peristiwa tanggal 3 September 2021 kemarin, ada gejolak di lapangan,” jelas dia.
Ia berharap agar kejadian seperti itu tidak terulang dan diserahkan ke pihak berwenang untuk menyelesaikan secara persuasif agar kondisi tetap terkendali.
Terkait keputusan dari fatwa MUI yang telah ditetapkan di Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H atau 28 Juli 2005 M yang saat itu Ketua MUI adalah K.H. Ma’ruf Amin sebagai berikut :
Pertama , menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Kedua, bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Ketiga, pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. (tantra nur andi)